Thursday 22 February 2018

Indon, Bangsa Penikmat Hoaks Bag I

Belakangan ini, muncul kembali isu tentang PKI yang sudah sangat besar, jutaan pengikutnya sudah siap menebar ancaman dimulai dengan kasus penganiayaan beberapa ustadz akhir-akhir ini. Sebagian ada yang percaya PKI adalah dalang dibalik kasus-kasus yang terjadi, sebagian lagi tidak. Sebelum kita masuk ke pembahasan pokoknya, saya akan coba uraikan dulu peristiwa 30 September 1965 dari kaca mata orang waras, bukan dari pelajaran sekolah yang diangkat dari versi kisah heroik presiden korup yang sukses memiskinkan bangsanya sendiri selama 32 tahun.
         
  • Realitas Politik

Sentra kekuatan politik pasca Dekrit Presiden 1959 bertumpu pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat (AD) dan Soekarno. Ketika itu, PKI adalah parpol legal dengan basis massa jutaan orang sampai ke pelosok-pelosok daerah. Kalkulasi politik saat itu, jika dilakukan Pemilu lagi setelah 1955, besar kemungkinan PKI akan menang. Oleh sebab itu Soekarno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Tak ada lagi Pemilu, antara lain untuk menjaga keseimbangan agar PKI tidak jadi besar sendirian.


Di sisi lain, AD sering mengirim perwira untuk belajar di AS dan menjalin koneksi di sana. Kondisi ini dipergunakan oleh Pemerintah AS untuk menciptakan agen-agen “pro-Barat” untuk melawan komunisme (Blok Timur). Untuk itu, AS memberi bantuan pelatihan, memberi sumbangan, menjual persenjataan, serta memberi bantuan keuangan (sumber: Dr. Peter Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Sukarno”, 1965-1967).


Satu-satunya kekuatan politik yang mencegah AD dan PKI saling cakar-cakaran adalah pilar ketiga, yakni Soekarno sebagai penyeimbang. Realitas politik saat itu membuat Soekarno, mau tidak mau, harus merangkul PKI, parpol yang kemungkinan besar akan menang jika ada pemilu. Di sisi lain, Soekarno jelas harus merangkul AD. Ia membutuhkan kedua kekuatan sayap kiri dan sayap kanan, yang merupakan realitas politik saat itu, untuk menjalankan misi-misinya, seperti New Emerging Forces (NEFO), Ganyang Malaysia, dll.


  • Jenderal Pro-Barat

Ketika itu, baik di AD, AU maupun AL, terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu golongan yang berorientasi kiri, tengah, dan kanan. Di AD, para pimpinan Komandonya kebanyakan kanan antikiri. Menpangad A.H. Nasution adalah “Golden Boy” AS yang dikenal gigih meyakinkan para pembesar di Washington tentang komitmennya melawan komunisme. Gabungan Kepala-kepala Staf AS memberi bantuan untuk AD pada 1958 sebagai dukungan agar Nasution dapat melaksanakan rencananya untuk mengendalikan kaum komunis (sumber: Scott, “United States and the Overthrow of Sukarno”, hlm 246).


Maka terjadilah peristiwa 1960 dimana AD haluan kanan, melalui Sukendro, memberantas PKI pada Juli-September 1960, yang berujung pada desakan perwira-perwira pro-Barat terhadap Nasution agar melakukan kudeta pada Soekarno (sumber: CIA – Indonesia, 1965, hlm 190-191). Soekarno segera menghentikan gerakan ini, dan “mengasingkan” Sukendro selama 3 tahun untuk studi di University of Pittsburgh.


Sepak terjang Nasution yang “militan Barat” membuat Soekarno — yang dikenal anti nekolim — menjadi gerah. Presiden mengganti posisi Nasution sebagai Menpangad dengan A. Yani. Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI, yang hanya mengurus administrasi tanpa pasukan. Dengan kata lain, tahun 1962 Nasution masuk kotak, tapi tetap dimuliakan (naik jadi Ka Staf ABRI). Yani kemudian mengganti beberapa Pangdam yang pro-Nasution. Sejak itu, friksi yang tajam antara Nasution dan Yani diketahui banyak kalangan termasuk di luar AD (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku tentang G30S”).


Yani dikenal antikomunis. Ia pun dikenal pro-Barat, memiliki hubungan yang sangat erat dengan penasehat civic action Kol. George Benson (sumber: B. Evans, “Influence of the United States Army,” hlm 28-29). Tapi setidaknya, di mata Soekarno, Yani kooperatif dan tidak sefrontal Nasution.


A. Yani, “Jenderal Kesayangan Bung Karno” 


  • Embrio “Dewan Jenderal”

Sekitar 1963, Menpangad Yani membentuk kelompok pemikir (kolega AS menyebutnya “brain trust”) yang terdiri dari Jend. Suprapto, Jend. Haryono, Jend. S. Parman, dan Jend. Sukendro yang ia tarik pulang dari “pengasingan” di AS. “Kelompok rahasia” ini kemudian didesas-desuskan orang sebagai “Dewan Jenderal(sumber: CIA, Indonesia – 1965).


Jika kita melihat susunannya, empat jenderal brain trust itu (termasuk Yani diluar Sukendro) sama dengan “Dewan Jenderal” target korban G30S. Tapi tidak menjawab pertanyaan mengapa Sutoyo, Panjaitan dan Nasution juga jadi target. Dan tidak menjawab pertanyaan mengapa Sukendro tidak jadi target.



  • ·        Skenario Presiden Boneka

Dubes AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, merupakan tokoh yang bersahabat karib dengan Soekarno. Adalah Dubes Jones yang mendekatkan Presiden Soekarno dengan Presiden J.F. Kennedy, yang akhirnya akrab secara ideologis maupun personal. Saking simpatinya, Dubes Jones menulis buku berjudul Indonesia The Possible Dream. Ia meyakinkan pihak AS bahwa Soekarno masih sangat dicintai dan memiliki legitimasi yang kuat di Indonesia. Upaya mendongkel Soekarno lewat cara-cara kasar seperti yang terjadi tahun 1960 lewat Sukendro-Nasution tak akan berhasil.



Buku “Indonesia The Possible Dream” karya Dubes Jones 


Maret 1965, Dubes Jones mengusulkan, agar dapat berhasil di Indonesia, kudeta harus diberi kedok yang sebaliknya: usaha untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. AD harus tampil sebagai penyelamat Soekarno dan bukan sebagai penggali kuburnya. Dewan Keamanan Nasional AS memahami bahwa pemberantasan PKI harus “bisa dibenarkan secara politik dari sudut kepentingan Indonesia sendiri” (sumber: “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of Mission Conference, Baguio, Filipina).


Dari situ timbul ide untuk pura-pura menyelamatkan Soekarno dan kemudian mendudukkannya sebagai presiden boneka, mengingat Proklamator itu masih dicintai rakyatnya.


  • Skenario “Kudeta Gagal”

Sampai bulan April 1965, Dubes Jones sendiri meragukan bahwa PKI akan melakukan kudeta (agar ada alasan bagi AD untuk memberantasnya). “PKI berada dalam posisi yang terlalu baik lewat taktik kerjasamanya dengan Soekarno dewasa ini,” katanya (sumber: ibid.).


Strategi kemudian berkembang jadi skenario “kup PKI prematur” yang “sengaja dirancang untuk gagal” sehingga memberi “kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan PKI dan membuat Soekarno sebagai tawanan niat baik AD” (sumber: Neville Maxwell, peneliti Inggris, Journal of Contemporary Asia 9 no. 2, 1979).


  • Ganti Dubes

Juli 1965, Dubes Jones yang dekat dengan Soekarno diganti dengan Dubes Marshall Green, Top Executive CIA di bidang subversif. Sebelumnya, Green ditugaskan di Korsel dan sukses membantu kudeta militer Jenderal Park Chung Hee. Green diberi wewenang untuk bersikap lebih keras terhadap Soekarno.



Dubes Green dan Soeharto 


Seiring dengan itu, AS menjalankan “low-posture policy” dengan mengurangi peran intelijen mereka, termasuk pengurangan personil Kedubes AS besar-besaran, sebagai antisipasi kemungkinan chaos dan demonstrasi, sekaligus agar rencana konflik AD dengan PKI tampak seperti persoalan domestik (sumber: Bunnel, “American Low-Posture Policy, hlm 50).


Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AS memang merancang skenario “kudeta komunis yang gagal” agar ada alasan bagi AD untuk menyerang PKI. Tapi belum sampai pada detail action plan. Tak sulit membayangkan bahwa ide tentang “kudeta gagal” — yang gencar disosialisasikan oleh Dubes Jones di kalangan diplomat asing itu — juga disalurkan ke aliansi lokal lewat penasehat civic action, Kol. George Benson, figur yang dihormati dan dikagumi ibarat mentor bagi para perwira intel, termasuk Ali-Yoga.


Setelah itu, CIA mengurangi perannya lewat taktik “low-posture policy”. Sehingga, seluruh rentetan peristiwa sejak Juli s.d. 31 Oktober 1965 adalah murni gerakan lokal ibarat “bola liar”. Dari berbagai data yang tersedia, CIA tidak merancang detail sampai bagian yang paling sulit: isu apa yang bisa membuat PKI mau lakukan kudeta.



  • Isu Dewan Jenderal

Dalam suasana saling curiga antara 2 pilar kekuatan AD dan PKI, pihak AD berkesimpulan bahwa Angkatan Kelima adalah buruh dan tani yang dipersenjatai RRC. Hal ini yang kemudian, di era Orde Baru, berkembang jadi pemutusan hubungan diplomatik dengan RRC, dilanjutkan dengan diskriminasi WNI keturunan Cina menjadi “warga kelas dua”: nama harus diganti, KTP ditandai, karir di birokrasi dibatasi, hari raya tak boleh dirayakan, dll. Diskriminasi yang terus berlanjut selama puluhan tahun di rezim Orba.


Padahal sebenarnya, RRC tidak “diam-diam mempersenjatai PKI”, melainkan menawarkan bantuan peralatan militer kepada pemerintah RI secara resmi lewat jalur diplomatik (Menlu). Penggunaanya untuk operasi Ganyang Malaysia, bukan untuk kudeta atau perang saudara dengan AD. Jumlah persenjataannya juga untuk 40 batalyon saja, bukan untuk jutaan orang seperti yang kemudian dipropagandakan.


Menpangad Yani menolak pembentukan Angkatan Kelima. Hubungan AD semakin merenggang dengan Presiden. Sementara, di sisi lain, friksi ini membuat PKI jadi semakin merapat ke Presiden. Dari situ timbul isu adanya “beberapa jenderal yang tidak puas dengan Presiden akan melakukan kudeta”. Isu ini menyulut kubu pro-Soekarno, baik di kalangan PKI, angkatan militer lain, termasuk faksi perwira-perwira AD yang pro-Soekarno.


Ketidaksukaan kelompok kiri terhadap kelompok kanan bahkan sampai ke masalah pribadi. Mereka menyoroti gaya hidup Yani cs yang mereka anggap kebarat-baratan dan borjuis. Sehingga, timbul istilah “kabir” (kapitalis birokrat). Juga sebutan-sebutan kebencian lain seperti “jenderal antek CIA” yang akan “menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi”. Dari situlah isu “Dewan Jenderal” menjadi panas.

  • Keterlibatan PKI


Anggota PKI yang terlibat langsung dalam operasi G30S di Halim adalah Syam dan Pono. Hanya mereka berdualah orang berpakaian sipil di tengah-tengah pasukan militer di Halim (sumber: Dokumen Supardjo, “Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja G-30-S Dipandang dari Sudut Militer”).


Di luar operasi militer, anggota PKI yang terlibat adalah Njono. Ia mengerahkan bantuan sukarelawan untuk mendukung G30S, tanpa memberitahu apa konsekuensinya. Njono sendiri bersaksi bahwa tenaga sukarelawan itu untuk membantu putsch (perebutan kepemimpinan militer) di tubuh AD (sumber: Laporan Intelijen Australia, Desember 1965, dikutip dalam Easter, “Keep the Indonesian Pot Boiling”).

  • Keberadaan Aidit di Halim


Adalah Syam yang membawa Aidit ke Halim, dan memerintahkan Mayor Suyono untuk menjemputnya (sumber: Kesaksian Syam di Mahmilub tanggal 7 Juli 1967 perkara Sudisman). Aidit kemudian mengajak 3 pembantunya, Kusno (aspri); Subekti (panitera merangkap sekpri); dan Bono (Biro Chusus PKI). Mereka disembunyikan di rumah Sersan Suwandi yang berjarak sekitar 800 meter terpisah dari Gedung Penas yang dijadikan markas oleh kelima pimpinan G30S. Aidit tak pernah ikut rapat dengan pemimpin G30S. Ia hanya mendapat laporan dari Syam yang terlihat bolak-balik menemuinya (sumber: Prof. John Roosa, Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002, Jakarta).


Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan. Jika Aidit Ketua PKI itu adalah dalang dan pemimpin G30S, mengapa ia tak pernah memimpin rapat G30S yang berada di satu lokasi? Mengapa tak ada elite partai yang ikut — hanya mengajak aspri; sekpri dan Biro Chusus yang tak ada dalam struktur partai? Mengapa ia disembunyikan di rumah yang terpisah jauh, sehingga para perwira G30S tak pernah bertemu dengannya? Mengapa Syam yang membawanya ke Halim, dan bukan sebaliknya?


Disitulah kelihaian pelintiran double-agent. Kepada perwira G30S bilang didukung PKI, kepada Ketua PKI bilang didukung perwira. Sementara, kedua pihak tak pernah bertemu langsung.


Prof. Wertheim — serta Ben Anderson dan McVey penulis Cornell Paper — juga mencoba menjawab teka teki ini. Mereka sependapat bahwa Aidit, Subekti dan Bono adalah korban penipuan, untuk menimbulkan kesan bahwa G30S didalangi PKI. Tapi ia bukan ditipu oleh para perwira pemimpin G30S (Untung dan Latief), melainkan ditipu oleh “dalang sesungguhnya” lewat agen ganda mereka, Syam.


Analisis para akademisi Barat itu tampaknya sejalan dengan apa yang dikatakan Soekarno dalam pidato Nawaksara, bahwa G30S terjadi akibat “1) keblingernya pimpinan PKI” (Aidit cs ada di TKP) sehingga terjebak dalam “2) kelihaian subversi nekolim” (“the real dalangs” istilah Wertheim).

  
- bersambung





No comments:

Post a Comment