Monday 25 April 2016

Piye kabare? Enak jamanku toh?

Judul di atas adalah slogan yang biasanya tertera di bagian belakang truk-truk pantura, ditulis besar-besar dengan lambaian tangan bapak tua, lalu lalang dengan slogan lainnya seperti “dibuang sayang, dikawin perang”, atau “lali rupane, eling rasane” serta tulisan-tulisan cerdas lainnya yang akrab ditemui sepanjang pantai utara. Pertanyaannya, apa iya jaman itu lebih enak dibanding jaman sekarang? Ada satu cerita menarik di bawah ini yang bisa kita ambil pelajarannya.
        Dahulu kala, di Negara Kesatuan Republik Demokratik Sontoloyo, hidup seorang pemimpin revolusioner yang doyan nikah, dari pribumi sampai wanita jepang, semua dikawin, tapi terlepas dari gayanya yang playboy, bapak presiden ini punya satu sisi positif, dia sangat nasionalis, soal harga diri bangsa, semua angkat topi sama bapak yang satu ini. Sampai pada satu hari, di tahun 1965, muncul kudeta berdarah dengan mengkambing-hitamkan Partai Komunis Republik Demokratik Sontoloyo, atau disingkat PKRDS, yang saat itu punya hubungan yang cukup mesra dengan Pak Presiden. Aktor utamanya adalah seorang jendral bernama Suhartawan yang dibantu Mama Rika yang tidak senang karena tidak bisa mengeruk emas di tanah Papah Uya karena tidak diizinkan Pak Presiden. Singkat kata, pada satu hari yang cerah di tahun 1965, ada tujuh jendral yang hilang entah kemana, dan Jendral Suhartawan yang entah mendapat ilham dari mana, langsung menyuruh aparat melakukan pencarian di sebuah area di daerah ibukota yang bernama Lubang Komodo, dan ketemu! Prok prok prok, luar biasa jendral ini, salut! Setelah mendapat angin segar, dia langsung menunjuk PKRDS sebagai dalang dari terbunuhnya ketujuh jendral yang ditemukan di Lubang Komodo. Tanpa proses persidangan, dilakukanlah proses genosida terhadap anggota dan pendukung partai ini yang mayoritas petani dan sipil yang tidak tahu apa-apa, dan jumlahnya disembunyikan, ada yang bilang ribuan, ratusan ribu, ada juga yang bilang jutaan, Wallahu’alam, hanya Tuhan yang tahu.
        Setelah pembantaian mengerikan, Pak presiden kehilangan kharisma dan dukungan, dan tanpa ba-bi-bu, kekuasaan akhirnya jatuh ke tangan Jendral Suhartawan. Banyak kebijakan strategis yang dibuat oleh presiden baru ini, seperti undang-udang Minerba yang menjadi jalan Mama Rika numpang gali emas di tanah Papah Uya, di mana bagi hasilnya adalah 99% untuk PT Repot dari Mama Rika dan 1% dari pajak untuk Negara Kesatuan Republik Demokratik Sontoloyo, sungguh sebuah bagi hasil yang adil. Selain itu, banyak kebijakan yang tidak kalah visionernya turut dikeluarkan, di antaranya: etnis minoritas Tionghoa dilarang menggunakan nama Tionghoa dan dilarang menggunakan bahasa Tionghoa, padahal etnis minoritas lainnya seperti India dan Arab bebas untuk menggunakan bahasa mereka masing-masing. Partai PKRDS dilarang tampil, dan partai politik dibatasi hanya tiga: partai Golongan Kaya Raya atau Gokara, Partai Demokratik Internasional atau Partikin, dan Partai Pemuda Patriot atau Papatri. Partai Gokara yang dihuni mayoritas, dengan mudah memenangkan setiap pemilu yang digelar sehingga kekuasaan Presiden Suhartawan bertahan hingga lebih dari tiga dekade.
Selama memerintah, barang-barang kebutuhan pokok terasa murah, bensin murah, biaya hidup murah, semua serba murah karena subsidi yang diberikan pemerintah. Tapi seperti kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan istri muda, akhirnya tua juga. Tuhan saja yang maha pencipta masih menyuruh manusia untuk bekerja, Tuhan menciptakan udara, tapi manusia harus bernafas untuk mendapatkannya, Tuhan menciptakan air, tapi manusia perlu usaha untuk mengolahnya. Rupanya Presiden Suhartawan ingin bertindak seperti tuhan kecil, menyediakan kebutuhan pokok lebih murah dari harga produksinya, semua serba mudah pada awalnya, tapi subsidi yang dibiayai dari jualan migas dan hutang akhirnya jebol. Setelah kondisi ekonomi yang makin sulit, rakyat akhirnya sadar bahwa pemimpin mereka bukan Tuhan, kemurkaan rakyat akhirnya tumpah dan terjadi kerusuhan berdarah di beberapa kota besar. Mama Rika yang dulu menjadi sponsor utama Jendral Suhartawan lepas tangan dengan kerusuhan yang terjadi, karena perusahaan Repot sudah nyaman menggali emas di Papah Uya, begitu juga dengan PT Emont di tambang lainnya. Setelah lebih dari tiga dekade, Presiden Suhartawan akhirnya lengser dengan sederet prestasi yang ditinggalkan:
1.      Republik Sontoloyo dikenal dengan ekspor PRT terbesar di Timteng, Malaysia dan Taiwan.
2.      Budaya korup yang mengakar kuat di pemerintahan.
3.      Hutang yang tidak akan lunas tujuh turunan.
4.      Infrastruktur yang menyedihkan karena uang negara habis untuk subsidi selama lebih dari tiga dekade.
5.      Tata kota yang amburadul karena mayoritas departemen di pemerintahan diisi oleh orang titipan, bukan orang ahlinya.

*Cerita di atas hanyalah fiktif belaka, jika terdapat kesamaan dengan kenyataan mungkin bukan sebuah kebetulan.


Salam,