Monday 31 August 2015

Sistem Riba Selalu Ada Yang Kena Kemplang & Nilai Aset Jatuh

Ada yang menanyakan, kenapa kejatuhan nilai asset pada krisis deflasi akan tajam sekali. Jawabnya ada pada sistem riba dan monopoli pencetakan uang.

Sebagai illustrasi, misalnya di Negara Kesatuan Republik Demokrasi Sontoloyo ada bank sentral swasta bernama Bank Sentral Sontoloyo (BSS) yang diberi kekuasaan atas monopoli pencetakan uang, sebut saja kepeng. Ingat baik-baik bahwa bank sentral ini adalah bank swasta seperti the Fed (Federal Reserves Bank, Amerika Serikat), dan bukan bank negara. Ia (Bank Sentral Sontoloyo) meminjamkan uang yang dicetaknya sebesar Ҝ 1 juta (kepeng) dengan bunga 3% (atau berapa saja, tinggal sebut) per tahun kepada pemerintah dan rakyat negara Sontoloyo secara aggregat. Maka tahun berikutnya hutang ini sudah menjadi Ҝ 1,03 juta. Kalau nasabah (baik pemerintah atau rakyat) tidak punya otoritas mencetak uang, dari mana nasabah memperoleh Ҝ 300 ribu itu. Setelah 5 tahun, hutang tersebut jatuh tempo dan harus dibayar berserta bunganya, maka total yang harus dikembalikan ke bank adalah Ҝ 1,159 juta. Persoalannya adalah, dari mana nasabah memperoleh Ҝ 159 ribu lagi, karena dia tidak mempunyai otoritas mencetak uang kepeng.

Hikmah cerita, pada saat hari jatuh tempo hutang yang bersifat massal, akan terjadi kekurangan cash. Hal ini disebabkan karena ada selisih antara aggregat uang yang beredar dengan total hutang (pokok dan bunganya). Uang yang diciptakan hanyalah sebesar hutang pokok. Oleh sebab itu mau tidak mau bunganya akan dikemplang, atau dibayar dengan asset (yang tentunya harganya akan dijatuhkan dahulu oleh kreditur).

Cerita di atas adalah untuk kasus dimana debitur swasta yang wajib punya jaminan. Bagaimana jika debitur itu pemerintah yang jaminannya tidak ada kecuali “menarik pajak yang lebih rajin dan giat”?. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Demokrasi Sontoloyo (NKRDS) mengeluarkan surat obligasi sebesar Ҝ 100 juta dengan kupon 7% misalnya dengan jangka waktu 40 tahun. Dalam kurun waktu 14 tahun uang Ҝ 100 juta yang diperoleh dari menjual surat obligasi itu akan habis untuk membayar kupon bunga. Ketika habis masa berlakunya, total kepeng yang harus dibayar oleh pemerintah NKRDS adalah Ҝ 380 juta. Padahal yang ada hanya Ҝ 100 juta. Perlu diingat bahwa NKRDS tidak bisa seenaknya langsung mencetak uang karena pemerintah NKRDS secara undang-undang tidak mempunyai otoritas mencetak uang. Jadi dari masa ke masa untuk menambal defisitnya NKRDS mengeluarkan surat obligasi lagi yang angunannya tentu juga tidak ada. Atau menarik pajak yang lebih giat. Itu berarti mengambil sebagian kepeng yang beredar di masyarakat dan akan mencekik ekonomi. Secara keseluruhan, sistem harus melakukan ekspansi kredit untuk mengejar pembayaran bunga, sampai beban hutang tidak tertahankan lagi. Pada saatnya, hutang harus diselesaikan, terjadi kelangkaan kepeng (yang secara matematis saldonya pasti negatif), asset terpaksa dijual...... Karena ada keterpaksaan dalam menjual, maka harganya murah.

Hikmah dari uraian di atas adalah bahwa dalam sistem riba:
  1. Harus terus melakukan ekspansi hutang secara eksponensial, kalau tidak sistem akan kolaps. Ini berlangsung sampai beban hutang tak tertanggungkan lagi.
  2. Ketika kecepatan hutang mereda atau berhenti maka sistem akan kolaps dan jumlah uang pasti tidak cukup uang membayar hutang. Secara matematik, tidak ada uang yang bisa diallokasikan untuk bunga/kupon. Besarnya hutang selalu (dan pasti) lebih besar dari jumlah uang yang beredar.
  3. Sebagian hutang harus dibayar atau dikemplang. Jika pembayaran itu dilakukan dengan agunan (jika hutang pemerintah maka agunan itu bisa dibebankan ke rakyat, maka), harga asset akan jatuh.
  4. Dengan demikian pada fase deflationary, harga asset akan jatuh dan mata uang yang mengalami kontraksi akan naik nilainya karena ada kelangkaan.

Begitulah penjelasan yang disederhanakan. Catatan penting bahwa Bank Sentral Sontoloyo di Negara Kesatuan Republik Demokrasi Sontoloyo (NKRDS) adalah bank swasta dan NKRDS tidak punya otoritas untuk mencetak uang. Yang punya hak adalah Bank Sentral Sontoloyo.

*Dikutip sebagian dari blog ekonomi orang waras dan investasi