Thursday 22 February 2018

Indon, Bangsa Penikmat Hoaks Bag II

  • Mengapa Tujuh Jenderal Itu?
Melihat daftar tujuh jenderal yang dijadikan target operasi itu, ada lima pertanyaan logis yang sangat mendasar.


PERTAMA: Yani dan Nasution adalah dua kutub yang saling bertentangan. Di AD ada “kubu Yani” dan ada “kubu Nasution”. Setelah terjadi friksi tahun 1962, keduanya selalu menghindar upaya-upaya islah yang digagas TNI AD. Dari logika politik, aneh jika dua pucuk pimpinan yang saling bertentangan tiba-tiba kompak membentuk Dewan Jenderal untuk kudeta.


KEDUA: Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, Sutoyo dan D.I. Panjaitan adalah anggota SUAD (Staf Umum Angkatan Darat). Di bawah Yani, ada 11 jenderal anggota SUAD. Mengapa yang jadi target adalah 5 jenderal itu?



Dari ketiga Deputi, mengapa yang jadi target Deputi II (Suprapto) dan Deputi III (Haryono)? Kemudian, dari 7 Asisten Pangad, mengapa yang jadi target hanya S. Parman dan Panjaitan?

Mengapa Sutoyo jadi target, padahal ia hanya Oditur yang ngurusi kasus hukum militer, termasuk kasus korupsi perwira?


KETIGA: jika tujuan G30S adalah untuk kudeta di Jakarta, yang mustinya dijadikan target bukanlah 5 anggota SUAD yang tak punya pasukan. Secara logis, yang harusnya “diamankan” adalah komando yang punya pasukan dan/atau yang bisa mendatangkan pasukan, yakni Pangdam V Jaya dan Pangkostrad.


KEEMPAT: mengapa yang jadi target seluruhnya dari AD? Apakah ini coup d’état (=negara)? Ataukah putsch (perebutan pimpinan militer di tubuh AD akibat konflik faksi-faksi internal)?


KELIMA: ketujuh jenderal itu “kebetulan” sama dengan enam jenderal yang memeriksa dugaan korupsi Kol. Soeharto di Kodam Diponegoro tahun 1958. Dan satu jenderal lagi, D.I. Panjaitan, “kebetulan” adalah yang membuka kasus tersebut dan menentang Soeharto ketika dicalonkan jadi Ketua Senat di Seskoad.


  • Laporan G30S ke Pangkostrad
Waktu sidang di Mahmilub, Kol. Latief bersaksi bahwa sebelum peristiwa G30S, ia dua kali bertemu dengan Pangkostrad Soeharto. Pertama, tanggal 29 September 1965 Latief beserta istri berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan H. Agus Salim. Ia menanyakan info mengenai rencana kup Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan. Soeharto menjawab bahwa ia sudah dengar sehari sebelumnya, dari anak buahnya di Yogya yang bernama Subagiyo. Ia mengatakan akan menyelidiki lebih lanjut (sumber: Latief, Pledoi Kol. A.Latief, hlm 129).


Pertemuan kedua terjadi tanggal 30 September malam, 4 jam sebelum penculikan jenderal (sebelum Latief bergabung ke Halim malam itu). Ia menemui Soeharto di RSPAD, yang saat itu tengah merawat anaknya (Tommy) yang ketumpahan sop. Menurut Latief, ia lapor karena menganggap Soeharto adalah loyalis Soekarno yang akan jadi salah satu pimpinan AD jika G30S berhasil dan Presiden menindak ketujuh jenderal yang diculik. Disamping itu, ia lapor mewakili Letkol Untung dan Brigjen Supardjo — yang sebelumnya datang ke rumahnya malam itu dan memintanya lapor ke Pangkostrad, karena Latief dianggap yang paling dekat dengan Soeharto — agar Soeharto dapat dimintai bantuan jika terjadi apa-apa (sumber: ibid.).


Soeharto sendiri mengakui pertemuan dengan Latief di RSPAD tanggal 30 September menjelang tengah malam itu. Tapi ucapannya tidak konsisten tentang apa tujuan Latief menemuinya.


Dalam wawancara dengan Arnold Brackman (jurnalis AS) tahun 1968, Soeharto mengatakan, “Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu, untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya.”


Pada kesempatan lain, ketika diwawancarai Der Spiegel tahun 1970, Soeharto bicaranya beda lagi, “Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya. Tetapi akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena tidak berani melakukannya di tempat umum”.


Kol. Latief tidak disidangkan selama 13 tahun. Selama itu, ia dibungkam dan ditempatkan di sel pengasingan. Alasan pemerintah, Latief tidak disidangkan karena sakit-sakitan. Padahal, sejak tertangkap kakinya ditusuk bayonet hingga membusuk dan pincang seumur hidup, akibat sengaja tidak diberikan pengobatan (sumber: ibid., hlm 54-59).


Ketika disidang tahun 1978, Latief menyatakan bahwa pernyataan Soeharto di Der Spiegel itu tak masuk akal. Jika ia bermaksud membunuh Soeharto di RSPAD, seluruh gerakan menculik 7 jenderal di rumah masing-masing pasti berantakan. Ia bersikeras bahwa malam itu ia melaporkan adanya gerakan untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal pagi itu, dan bahwa Soeharto sudah diberitahu pula sehari sebelumnya ketika Latief dan istri mengunjungi rumah Soeharto.


Tahun 1978 itu, Latief mengajukan permohonan pada Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat agar memanggil Presiden Soeharto dan Ibu Tien sebagai saksi a de charge (sumber: Eksepsi yang dibacakan oleh tertuduh Kol. Latief didepan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat, 5 Mei 1978). Namun, tentu saja, permohonan ditolak Mahmilti dengan alasan permohonan itu tidak relevan.


Alhasil, Kol. Latief adalah satu-satunya perwira pemimpin G30S yang tidak divonis hukuman mati seperti pimpinan G30S yang lain.


Tentang laporan Latief kepada Soeharto sebelum pelaksanaan G30S itu, Prof. Wertheim menulis bahwa — terlepas dari Soeharto terlibat atau tidak — setidaknya Soeharto membiarkan peristiwa G30S terjadi. Sebab, setidaknya, dia dilapori tapi tak lapor pada atasannya (Yani dan Nasution). Pembiaran seperti itu disebut “conspiracy of silence”.

  • Dua Batalyon Kostrad G30S


G30S sebenarnya terdiri dari dua gerakan: satu gerakan diam-diam dan tersembunyi di Halim untuk menculik para jenderal, satu lagi gerakan terang-terangan berupa dua batalyon AD yang menduduki Lapangan Merdeka dan RRI (untuk menyiarkan pengumuman radio keesokan paginya).


Sekitar seribu prajurit di dekat Istana Merdeka ini terdiri dari Batalyon 454 dari Jateng dan Batalyon 530 dari Jatim. Kedua pasukan G30S itu dengan nyaman berada di dekat Markas Kostrad dan Mabes AD, tanpa berusaha menduduki atau melumpuhkannya terlebih dahulu. Tampaknya, dua batalyon G30S itu menganggap Kostrad dan MBAD bukan musuhnya.




Baru sekitar tahun 1988 terungkap bahwa kedua batalyon dari Jateng dan Jatim pelaku G30S datang ke Jakarta atas perintah Pangkostrad Soeharto. Terungkap pula salinan perintah-perintah Kostrad yang asli, semuanya ditandatangani oleh Soeharto tanggal 21 September 1965, dengan alasan untuk parade Hari ABRI 5 Oktober. Disebut pula bahwa tanggal 30 September pagi hari, Soeharto sempat memeriksa kedua batalyon itu di tempat mereka berkemah (sumber: Indonesia Reports, Politics Supplement, no. 25, Agustus 1988).


Namun tak pernah terungkap, atas perintah siapa kedua komandan batalyon itu bergerak menduduki Lapangan Merdeka, sehari setelah dikunjungi Pangkostrad di perkemahannya.

  
  • Berantakan di Lapangan

Setelah bertemu Soeharto di RSPAD tanggal 30 September menjelang tengah malam itu, Latief pergi ke Halim. Supardjo datang bersama Syam. Supardjo memiliki posisi yang unik. Dia adalah “orang luar” (tak ikut perencanaan-perencanaan G30S sebelumnya) yang “ada di dalam” (hadir dan mengamati komando G30S). Supardjo tak bawa pasukan seperti yang dilakukan Untung, Latief dan Suyono. Tugas Supardjo, sesuai permintaan Syam, adalah menjadi jurubicara G30S ke Presiden setelah Dewan Jenderal itu ditangkap, untuk diambil tindakan oleh Presiden.

  • Tak Ada Komandan Tunggal


Disitu ia melihat 5 pemimpin G30S, yakni Untung, Latief dan Suyono (dari militer) serta Syam dan Pono (dari PKI). Sebagai petinggi militer (Panglima Komando Tempur II Kolaga), Supardjo kaget melihat persiapan di Halim. Tidak ada garis komando. Tidak ada komandan tunggal. Tidak jelas siapa pemimpin sesungguhnya. Kelima orang itu (Untung, Latief, Suyono, Syam dan Pono) sibuk berdebat sendiri, tak ada pengambil keputusan akhir.

Letkol Untung bingung, karena bantuan tentara dari Jateng dan Jatim ternyata banyak yang mengundurkan diri. Ia sempat bimbang untuk melanjutkan rencana. Syam lah yang memprovokasi, “Ya Bung, kalau mau revolusi pasti banyak yang mundur, tapi kalau sudah menang banyak yang mau ikut”.


Kesaksian Supardjo ini sangat berbeda dengan penggambaran dalam film propaganda “Pemberontakan G30S”, dimana seolah-olah G30S disusun dengan sangat rapih oleh para konspirator yang licik dan jahat sambil tak henti mengepulkan asap rokok di bibir yang hitam. Para pimpinan G30S justru bersikap sebaliknya: gelagapan, bingung dan berantakan.


Pembagian tugas regu penculik masing-masing jenderal juga sembarangan dan terkesan amatiran. Sempat berkali-kali ganti regu dan pimpinan. Sandi belum diputuskan, amunisi belum datang, pasukan AU datang terlambat. Tak ada Plan A & Plan B seperti lazimnya operasi militer. Akhirnya pasukan penculik menuju sasaran masing-masing sekitar jam 3.30 subuh.

  • Hasil Penculikan


Jika melihat pembicaraan-pembicaraan sebelumnya antara Syam dan Supardjo, tujuan awal G30S adalah menculik para jenderal hidup-hidup untuk dibawa ke Presiden, dimana Supardjo jadi jurubicara mereka. Namun pelaksanaan di lapangan berantakan akibat kerja amatiran. Akhirnya mereka kembali ke Halim dengan hasil yang membingungkan: 3 jenderal hidup, 3 jenderal tewas, 1 perwira salah tangkap.


Ironisnya, jenderal yang lolos justru pimpinannya, yakni Nasution. Padahal, pasukan yang bertugas menculik Nasution jumlahnya paling banyak, sekitar 100 orang dalam 4 truk, dibanding 19 orang untuk menculik Suprapto (sumber: Dokumen Supardjo).

  • Lapor ke Presiden


Paginya, setelah Supardjo pergi ke istana untuk lapor ke Presiden, 4 perwira yang masih hidup (Parman, Suprapto, Sutoyo dan Tendean) dibunuh di Lubang Buaya. Di persidangan Latief tahun 1978 yang menghadirkan Syam sebagai saksi, Syam mengaku bahwa dirinyalah yang memerintahkan penembakan para jenderal (sumber: Wertheim, Who’s Plot? New Light on the 1965 Events, hlm 207).

  • Perintah Penembakan


Ada hal yang menarik dari data ini. Semua perwira G30S, apalagi Supardjo yang ditugaskan jadi juru bicara ke Presiden, berpikir bahwa mereka rencananya menculik para jenderal hidup-hidup. Hanya Syam yang punya inisiatif untuk membunuh para jenderal. Itupun dilakukannya setelah Supardjo pergi ke istana untuk lapor ke Presiden.


Analoginya seperti kisah komplotan rampok yang sama-sama merampok bank, namun setelah uang di tangan, si pemimpin menelikung dan membunuh mereka.


Pertanyaan yang menggilitik adalah: jika ketujuh jenderal berhasil diculik hidup-hidup kesitu, dikala Supardjo lapor ke Presiden, apakah Syam tidak memerintahkan pula untuk membunuh para jenderal? Sebab, setelah nantinya Supardjo melaporkan bahwa Presiden tidak mendukung dan memerintahkannya untuk menghentikan G30S, Syam tetap bersikeras melanjutkan gerakan tanpa dukungan Soekarno (sumber: Dokumen Supardjo). Terbukti Syam punya agenda sendiri, yang tidak dia sampaikan sebelumnya kepada para perwira yang dia libatkan.

  • Jam Penembakan


Kembali ke 1 Oktober pagi itu. Atas perintah Syam, sekelompok pasukan G30S menembak masing-masing perwira berkali-kali. Untuk menyembunyikan para korban dan menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu ke dalam sumur, lalu menguruk sumur itu dengan bebatuan, tanah dan dedaunan (sumber: CIA, Indonesia – 1965, hlm 21).


Menurut CIA, dalam laporannya tentang G30S yang telah boleh diakses publik, para jenderal itu dibunuh sekitar pukul 7.00 (sumber: ibid.). Menurut ingatan Serma Boengkoes, pembunuhan terjadi sekitar pukul 9.30 (sumber: Anderson, World of Sergeant-Mayor Bungkus).

  • Tak Ada Gerwani di TKP


Berbeda dengan versi Orde Baru — yang dipropagandakan secara masif melalui buku-buku sejarah maupun film sadis G30S yang wajib ditonton oleh semua umur setiap tahun — ternyata tak ada keterlibatan Gerwani yang dikatakan menyiksa para jenderal dengan mencungkil mata, memotong kemaluan, sambil pesta narkoba dan seks.


Hal ini dikuatkan dengan hasil visum 5 dokter dari TNI dan FKUI, yang menyatakan bahwa tidak ada bekas-bekas penyiksaan di tubuh para jenderal korban G30S


Menurut penelitian Prof. Saskia Wieringa, pakar sosiologi dan kesetaraan gender dari University of Amsterdam, Gerwani adalah organisasi sosial perempuan yang saat itu berencana melakukan bakti sosial masak-memasak di dapur umum di sekitar Lubang Buaya pada siang hari. Kegiatan masak-memasak itu pun akhirnya tak jadi dilakukan, karena hanya sedikit anggota yang datang. Mereka tak ada di TKP pada tengah malam dan subuh itu, bahkan tak tahu menahu kalau ada pembunuhan jenderal. (sumber: Wieringa, “Sexual Politics in Indonesia”, hlm 292).


Ketika koran-koran — yang saat itu sepenuhnya dikuasai AD — gencar mempropagandakan fitnah tentang Gerwani, termasuk cerita-cerita fiktif tentang 100 perempuan Gerwani menggunakan silet untuk memotong kemaluan jenderal, Soekarno berang dan berkata, “Apa dikira kita ini orang bodoh?? Nadanya ialah apa?? Untuk membangun kebencian!! Masuk akal?? Tidak!! Artinya, apa masuk akal, pen*s dipotong-potong dengan 100 silet?? Apakah bangsa kita berkualitas sedemikian rendah??” (sumber: Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, I:89).



Pembunuhan massal perempuan Indonesia yg dituduh PKI, tanpa pengadilan 


Taktik perang urat syarat dan disinformasi bisa saja dianggap hal yang lumrah dalam strategi militer. Namun, jika fitnah itu berdampak jadi pembunuhan dan pemerkosaan ribuan perempuan Indonesia yang tak tahu menahu tentang pembunuhan jenderal, tentu tak dapat dibenarkan. Bahkan Robert F. Kennedy, senator di negeri AS yang antikomunis, mengutuk kekejian dan kebiadaban di Indonesia yang membunuh ratusan ribu korban termasuk perempuan itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (sumber: Newfield, “Robert Kennedy”, hlm 71).


Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas;

pada mulanya ia terjadi tanpa alasan, tapi kemudian menjadi masuk akal.

Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan abadi;

adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir

(Blaise Pascal, ilmuwan Prancis, 1670)


- bersambung






No comments:

Post a Comment