Belakangan
ini, muncul kembali isu tentang PKI yang sudah sangat besar, jutaan pengikutnya
sudah siap menebar ancaman dimulai dengan kasus penganiayaan beberapa ustadz
akhir-akhir ini. Sebagian ada yang percaya PKI adalah dalang dibalik kasus-kasus yang
terjadi, sebagian lagi tidak. Sebelum kita masuk ke pembahasan pokoknya, saya
akan coba uraikan dulu peristiwa 30 September 1965 dari kaca mata orang waras,
bukan dari pelajaran sekolah yang diangkat dari versi kisah heroik
presiden korup yang sukses memiskinkan bangsanya sendiri selama 32 tahun.
- Realitas Politik
Sentra
kekuatan politik pasca Dekrit Presiden 1959 bertumpu pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat (AD) dan Soekarno. Ketika itu, PKI adalah parpol legal dengan basis
massa jutaan orang sampai ke pelosok-pelosok daerah. Kalkulasi politik saat itu, jika
dilakukan Pemilu lagi setelah
1955, besar kemungkinan PKI akan menang.
Oleh sebab itu Soekarno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Tak ada lagi Pemilu, antara lain untuk
menjaga keseimbangan agar PKI tidak jadi besar sendirian.
Di
sisi lain, AD sering mengirim
perwira untuk belajar di AS dan
menjalin koneksi di sana. Kondisi ini dipergunakan oleh Pemerintah AS untuk
menciptakan agen-agen “pro-Barat”
untuk melawan komunisme (Blok Timur).
Untuk itu, AS memberi bantuan pelatihan,
memberi sumbangan, menjual persenjataan, serta memberi bantuan keuangan (sumber: Dr.
Peter Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Sukarno”, 1965-1967).
Satu-satunya
kekuatan politik yang mencegah AD dan PKI saling cakar-cakaran adalah pilar ketiga, yakni Soekarno sebagai penyeimbang. Realitas politik saat itu membuat
Soekarno, mau tidak mau, harus merangkul
PKI, parpol yang kemungkinan besar akan menang jika ada pemilu. Di sisi
lain, Soekarno jelas harus merangkul AD.
Ia membutuhkan kedua kekuatan sayap
kiri dan sayap kanan,
yang merupakan realitas politik
saat itu, untuk menjalankan misi-misinya, seperti New Emerging Forces (NEFO),
Ganyang Malaysia, dll.
- Jenderal Pro-Barat
Ketika
itu, baik di AD, AU maupun AL, terdapat 3
golongan perwira tinggi, yaitu golongan yang berorientasi kiri, tengah, dan kanan.
Di AD, para pimpinan Komandonya
kebanyakan kanan antikiri.
Menpangad A.H. Nasution adalah “Golden Boy” AS yang dikenal gigih meyakinkan
para pembesar di Washington tentang komitmennya melawan komunisme. Gabungan Kepala-kepala Staf AS memberi
bantuan untuk AD pada 1958 sebagai dukungan agar Nasution
dapat melaksanakan rencananya untuk mengendalikan
kaum komunis (sumber: Scott, “United States and the Overthrow of
Sukarno”, hlm 246).
Maka
terjadilah peristiwa 1960 dimana
AD haluan kanan, melalui Sukendro,
memberantas PKI pada Juli-September 1960, yang berujung pada desakan perwira-perwira pro-Barat
terhadap Nasution agar melakukan
kudeta pada Soekarno (sumber: CIA – Indonesia, 1965, hlm 190-191).
Soekarno segera menghentikan gerakan ini, dan “mengasingkan” Sukendro selama 3
tahun untuk studi di University of Pittsburgh.
Sepak
terjang Nasution yang “militan Barat” membuat Soekarno — yang dikenal anti nekolim
— menjadi gerah. Presiden mengganti posisi Nasution sebagai Menpangad dengan A. Yani. Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI, yang hanya mengurus
administrasi tanpa pasukan.
Dengan kata lain, tahun 1962 Nasution masuk
kotak, tapi tetap dimuliakan (naik jadi Ka Staf ABRI).
Yani kemudian mengganti beberapa
Pangdam yang pro-Nasution.
Sejak itu, friksi yang tajam
antara Nasution dan Yani diketahui banyak kalangan
termasuk di luar AD (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku tentang G30S”).
Yani dikenal antikomunis.
Ia pun dikenal pro-Barat,
memiliki hubungan yang sangat erat dengan penasehat civic action Kol. George Benson (sumber: B.
Evans, “Influence of the United States Army,” hlm 28-29). Tapi setidaknya,
di mata Soekarno, Yani kooperatif dan tidak sefrontal Nasution.
A.
Yani, “Jenderal Kesayangan Bung Karno”
- Embrio “Dewan Jenderal”
Sekitar
1963, Menpangad Yani membentuk kelompok pemikir (kolega AS
menyebutnya “brain trust”) yang terdiri dari Jend. Suprapto, Jend. Haryono, Jend. S. Parman, dan Jend. Sukendro yang ia tarik pulang
dari “pengasingan” di AS. “Kelompok rahasia” ini kemudian didesas-desuskan
orang sebagai “Dewan Jenderal” (sumber:
CIA, Indonesia – 1965).
Jika
kita melihat susunannya, empat jenderal brain
trust itu (termasuk Yani diluar Sukendro) sama dengan “Dewan Jenderal”
target korban G30S. Tapi tidak
menjawab pertanyaan mengapa Sutoyo,
Panjaitan dan Nasution
juga jadi target. Dan tidak menjawab pertanyaan mengapa Sukendro tidak jadi target.
- · Skenario Presiden Boneka
Dubes AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, merupakan tokoh yang bersahabat karib dengan Soekarno. Adalah Dubes Jones yang mendekatkan Presiden Soekarno dengan Presiden J.F. Kennedy, yang akhirnya
akrab secara ideologis maupun personal. Saking simpatinya, Dubes Jones menulis
buku berjudul “Indonesia The
Possible Dream”. Ia meyakinkan pihak AS bahwa Soekarno masih sangat dicintai dan memiliki legitimasi yang kuat di Indonesia. Upaya mendongkel Soekarno lewat
cara-cara kasar seperti yang
terjadi tahun 1960 lewat Sukendro-Nasution tak akan berhasil.
Buku “Indonesia
The Possible Dream” karya Dubes Jones
Maret 1965, Dubes Jones mengusulkan, agar dapat
berhasil di Indonesia, kudeta
harus diberi kedok yang sebaliknya:
usaha untuk menyelamatkan Presiden
Soekarno. AD harus tampil
sebagai penyelamat Soekarno dan
bukan sebagai penggali kuburnya. Dewan Keamanan Nasional AS memahami bahwa pemberantasan PKI harus “bisa dibenarkan secara politik dari sudut kepentingan Indonesia sendiri” (sumber:
“American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs
of Mission Conference, Baguio, Filipina).
Dari situ timbul ide untuk pura-pura
menyelamatkan Soekarno dan kemudian mendudukkannya sebagai presiden boneka, mengingat Proklamator
itu masih dicintai rakyatnya.
- Skenario “Kudeta Gagal”
Sampai bulan April 1965,
Dubes Jones sendiri meragukan
bahwa PKI akan melakukan kudeta
(agar ada alasan bagi AD untuk memberantasnya). “PKI berada dalam posisi
yang terlalu baik lewat taktik kerjasamanya dengan Soekarno dewasa ini,”
katanya (sumber: ibid.).
Strategi kemudian berkembang jadi skenario “kup PKI prematur” yang “sengaja
dirancang untuk gagal” sehingga memberi “kesempatan yang sah dan
memuaskan bagi AD untuk
menghancurkan PKI dan membuat
Soekarno sebagai tawanan niat baik
AD” (sumber: Neville Maxwell, peneliti Inggris, Journal of Contemporary Asia
9 no. 2, 1979).
- Ganti Dubes
Juli 1965, Dubes Jones yang dekat dengan Soekarno
diganti dengan Dubes Marshall Green,
Top Executive CIA di bidang subversif.
Sebelumnya, Green ditugaskan di Korsel dan sukses membantu kudeta militer Jenderal Park Chung Hee. Green diberi wewenang
untuk bersikap lebih keras terhadap
Soekarno.
Dubes Green dan
Soeharto
Seiring dengan itu, AS menjalankan “low-posture policy” dengan mengurangi peran intelijen mereka,
termasuk pengurangan personil Kedubes AS besar-besaran, sebagai antisipasi
kemungkinan chaos dan demonstrasi, sekaligus agar rencana konflik AD dengan PKI tampak seperti persoalan domestik (sumber:
Bunnel, “American Low-Posture Policy, hlm 50).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AS memang merancang skenario “kudeta komunis yang gagal” agar ada alasan bagi AD untuk menyerang PKI. Tapi belum sampai pada
detail action plan. Tak sulit membayangkan bahwa ide tentang “kudeta gagal” — yang gencar
disosialisasikan oleh Dubes Jones
di kalangan diplomat asing itu — juga disalurkan ke aliansi lokal lewat
penasehat civic action, Kol.
George Benson, figur yang dihormati dan dikagumi ibarat mentor bagi para perwira intel, termasuk Ali-Yoga.
Setelah itu, CIA mengurangi perannya lewat taktik “low-posture policy”.
Sehingga, seluruh rentetan peristiwa sejak Juli s.d. 31 Oktober 1965 adalah murni gerakan lokal ibarat “bola liar”. Dari berbagai data yang tersedia, CIA tidak merancang detail sampai bagian yang paling sulit: isu apa yang bisa membuat PKI mau lakukan kudeta.
- Isu Dewan Jenderal
Dalam suasana saling curiga
antara 2 pilar kekuatan AD dan PKI,
pihak AD berkesimpulan bahwa Angkatan Kelima adalah buruh dan tani yang dipersenjatai
RRC. Hal ini yang kemudian, di era Orde Baru, berkembang jadi pemutusan hubungan diplomatik dengan
RRC, dilanjutkan dengan diskriminasi
WNI keturunan Cina menjadi “warga kelas dua”: nama harus diganti,
KTP ditandai, karir di birokrasi dibatasi, hari raya tak boleh dirayakan, dll. Diskriminasi yang terus berlanjut
selama puluhan tahun di rezim Orba.
Padahal sebenarnya, RRC tidak “diam-diam
mempersenjatai PKI”, melainkan menawarkan bantuan peralatan militer
kepada pemerintah RI secara
resmi lewat jalur diplomatik
(Menlu). Penggunaanya untuk operasi Ganyang
Malaysia, bukan untuk kudeta atau perang saudara dengan AD. Jumlah persenjataannya juga untuk 40
batalyon saja, bukan untuk jutaan orang
seperti yang kemudian dipropagandakan.
Menpangad Yani menolak
pembentukan Angkatan Kelima.
Hubungan AD semakin merenggang
dengan Presiden. Sementara, di sisi lain, friksi ini membuat PKI jadi semakin merapat ke Presiden. Dari situ
timbul isu adanya “beberapa jenderal yang tidak puas dengan Presiden akan melakukan kudeta”. Isu ini menyulut kubu pro-Soekarno, baik di
kalangan PKI, angkatan militer lain, termasuk faksi perwira-perwira AD yang pro-Soekarno.
Ketidaksukaan kelompok kiri terhadap kelompok kanan bahkan sampai ke
masalah pribadi. Mereka
menyoroti gaya hidup Yani cs
yang mereka anggap kebarat-baratan dan borjuis. Sehingga, timbul istilah “kabir” (kapitalis birokrat). Juga
sebutan-sebutan kebencian lain seperti “jenderal
antek CIA” yang akan “menggulingkan
Pemimpin Besar Revolusi”. Dari situlah isu “Dewan Jenderal” menjadi panas.
Keterlibatan PKI
Anggota PKI yang terlibat langsung dalam
operasi G30S di Halim adalah Syam dan Pono.
Hanya mereka berdualah orang berpakaian sipil di tengah-tengah pasukan militer
di Halim (sumber: Dokumen Supardjo,
“Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja G-30-S Dipandang dari Sudut
Militer”).
Di luar operasi militer, anggota PKI yang terlibat adalah Njono.
Ia mengerahkan bantuan sukarelawan untuk mendukung G30S, tanpa memberitahu apa
konsekuensinya. Njono sendiri bersaksi bahwa tenaga sukarelawan itu untuk membantu
putsch (perebutan
kepemimpinan militer) di tubuh AD (sumber:
Laporan Intelijen Australia, Desember 1965, dikutip dalam Easter, “Keep the
Indonesian Pot Boiling”).
Keberadaan Aidit di Halim
Adalah Syam yang membawa
Aidit ke Halim, dan memerintahkan Mayor Suyono untuk
menjemputnya (sumber:
Kesaksian Syam di Mahmilub tanggal 7 Juli 1967 perkara Sudisman).
Aidit kemudian mengajak 3 pembantunya, Kusno (aspri); Subekti
(panitera merangkap sekpri); dan Bono (Biro Chusus PKI).
Mereka disembunyikan di rumah Sersan Suwandi yang
berjarak sekitar 800 meter terpisah
dari Gedung Penas yang dijadikan markas oleh kelima pimpinan G30S. Aidit tak
pernah ikut rapat dengan pemimpin G30S. Ia hanya mendapat
laporan dari Syam yang terlihat
bolak-balik menemuinya (sumber:
Prof. John Roosa, Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002, Jakarta).
Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan. Jika Aidit
Ketua PKI itu adalah dalang dan pemimpin
G30S, mengapa ia tak pernah memimpin rapat G30S yang berada di
satu lokasi? Mengapa tak ada elite partai yang
ikut — hanya mengajak aspri; sekpri dan Biro Chusus yang tak ada dalam struktur
partai? Mengapa ia disembunyikan di rumah
yang terpisah jauh, sehingga para perwira
G30S tak pernah bertemu dengannya? Mengapa Syam yang membawanya
ke Halim, dan bukan sebaliknya?
Disitulah kelihaian pelintiran double-agent.
Kepada perwira G30S bilang didukung PKI, kepada Ketua
PKI bilang didukung perwira. Sementara,
kedua pihak tak pernah bertemu langsung.
Prof.
Wertheim — serta Ben Anderson dan McVey
penulis Cornell Paper — juga mencoba menjawab teka teki ini. Mereka sependapat
bahwa Aidit, Subekti dan Bono adalah korban
penipuan, untuk menimbulkan kesan bahwa G30S
didalangi PKI. Tapi ia bukan ditipu oleh para perwira pemimpin
G30S (Untung dan Latief), melainkan ditipu oleh “dalang
sesungguhnya” lewat agen ganda mereka, Syam.
Analisis para akademisi Barat itu tampaknya sejalan dengan apa yang
dikatakan Soekarno dalam pidato Nawaksara,
bahwa G30S terjadi akibat “1) keblingernya
pimpinan PKI” (Aidit cs ada di TKP) sehingga terjebak dalam “2)
kelihaian subversi nekolim” (“the real
dalangs” istilah Wertheim).
- bersambung
No comments:
Post a Comment