- Mengapa Tujuh Jenderal Itu?
Melihat daftar tujuh jenderal yang dijadikan target
operasi itu, ada lima pertanyaan logis yang
sangat mendasar.
PERTAMA: Yani dan Nasution adalah dua
kutub yang saling bertentangan. Di AD
ada “kubu Yani” dan ada “kubu Nasution”.
Setelah terjadi friksi tahun 1962, keduanya selalu menghindar
upaya-upaya islah yang digagas TNI AD. Dari logika
politik, aneh jika dua pucuk pimpinan yang saling
bertentangan tiba-tiba kompak membentuk Dewan
Jenderal untuk kudeta.
KEDUA: Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, Sutoyo dan
D.I. Panjaitan adalah anggota SUAD (Staf Umum Angkatan
Darat). Di bawah Yani, ada 11 jenderal anggota SUAD.
Mengapa yang jadi target adalah 5 jenderal itu?
Dari ketiga Deputi, mengapa yang jadi target Deputi
II (Suprapto) dan Deputi III (Haryono)?
Kemudian, dari 7 Asisten Pangad, mengapa
yang jadi target hanya S. Parman dan Panjaitan?
Mengapa Sutoyo jadi target, padahal
ia hanya Oditur yang ngurusi kasus
hukum militer, termasuk kasus korupsi perwira?
KETIGA: jika tujuan G30S adalah untuk kudeta
di Jakarta, yang mustinya dijadikan target bukanlah 5 anggota
SUAD yang tak punya pasukan. Secara
logis, yang harusnya “diamankan” adalah komando yang punya pasukan dan/atau
yang bisa mendatangkan pasukan, yakni Pangdam V Jaya dan Pangkostrad.
KEEMPAT: mengapa yang jadi target seluruhnya
dari AD? Apakah ini coup d’état (=negara)? Ataukah putsch
(perebutan pimpinan militer di tubuh AD akibat konflik faksi-faksi internal)?
KELIMA: ketujuh jenderal itu “kebetulan”
sama dengan enam jenderal yang memeriksa
dugaan korupsi Kol. Soeharto di Kodam Diponegoro tahun 1958.
Dan satu jenderal lagi, D.I. Panjaitan, “kebetulan”
adalah yang membuka kasus tersebut dan menentang Soeharto ketika dicalonkan
jadi Ketua Senat di Seskoad.
- Laporan G30S ke Pangkostrad
Waktu sidang di Mahmilub, Kol. Latief bersaksi bahwa
sebelum peristiwa G30S, ia dua kali bertemu dengan Pangkostrad
Soeharto. Pertama, tanggal 29 September
1965 Latief beserta istri berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan H. Agus Salim.
Ia menanyakan info mengenai rencana kup Dewan
Jenderal, sekaligus melaporkan. Soeharto menjawab
bahwa ia sudah dengar sehari sebelumnya,
dari anak buahnya di Yogya yang bernama Subagiyo. Ia mengatakan akan
menyelidiki lebih lanjut (sumber:
Latief, Pledoi Kol. A.Latief, hlm 129).
Pertemuan kedua terjadi tanggal 30 September malam, 4 jam sebelum
penculikan jenderal (sebelum Latief bergabung ke Halim malam
itu). Ia menemui Soeharto di RSPAD, yang saat itu tengah
merawat anaknya (Tommy) yang ketumpahan sop. Menurut Latief, ia lapor karena
menganggap Soeharto adalah loyalis
Soekarno yang akan jadi salah satu pimpinan
AD jika G30S berhasil dan Presiden menindak
ketujuh jenderal yang diculik. Disamping itu, ia lapor mewakili
Letkol Untung dan Brigjen Supardjo — yang
sebelumnya datang ke rumahnya malam itu dan memintanya lapor ke Pangkostrad,
karena Latief dianggap yang paling dekat dengan Soeharto — agar Soeharto dapat
dimintai bantuan jika terjadi apa-apa (sumber: ibid.).
Soeharto sendiri mengakui pertemuan dengan
Latief di RSPAD tanggal 30 September menjelang tengah malam itu. Tapi ucapannya
tidak konsisten tentang apa tujuan Latief menemuinya.
Dalam wawancara dengan Arnold Brackman
(jurnalis AS) tahun 1968, Soeharto mengatakan, “Lucu juga kalau diingat
kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke
rumah sakit malam itu, untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu
atas keprihatinannya.”
Pada kesempatan lain, ketika diwawancarai Der
Spiegel tahun 1970, Soeharto bicaranya beda
lagi, “Pada jam 11 malam Kolonel Latief,
seorang dari komplotan kup itu, datang
ke rumah sakit untuk membunuh saya. Tetapi
akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena tidak berani melakukannya di
tempat umum”.
Kol. Latief tidak disidangkan selama 13
tahun. Selama itu, ia dibungkam dan ditempatkan di sel
pengasingan. Alasan pemerintah, Latief tidak disidangkan karena
sakit-sakitan. Padahal, sejak tertangkap kakinya ditusuk
bayonet hingga membusuk dan pincang seumur
hidup, akibat sengaja tidak diberikan pengobatan (sumber: ibid., hlm 54-59).
Ketika disidang tahun 1978, Latief menyatakan bahwa
pernyataan Soeharto di Der Spiegel itu tak
masuk akal. Jika ia bermaksud membunuh Soeharto di RSPAD, seluruh
gerakan menculik 7 jenderal di rumah masing-masing pasti berantakan. Ia
bersikeras bahwa malam itu ia melaporkan adanya gerakan
untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal pagi itu, dan bahwa Soeharto sudah
diberitahu pula sehari sebelumnya ketika
Latief dan istri mengunjungi rumah Soeharto.
Tahun 1978 itu, Latief mengajukan permohonan pada Mahkamah
Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat agar memanggil
Presiden Soeharto dan Ibu Tien sebagai saksi
a de charge (sumber:
Eksepsi yang dibacakan oleh tertuduh Kol. Latief didepan sidang Mahmilti II
Jawa Bagian Barat, 5 Mei 1978). Namun, tentu saja, permohonan
ditolak Mahmilti dengan alasan permohonan itu tidak relevan.
Alhasil, Kol. Latief adalah satu-satunya
perwira pemimpin G30S yang tidak divonis hukuman mati
seperti pimpinan G30S yang lain.
Tentang laporan Latief kepada Soeharto sebelum pelaksanaan
G30S itu, Prof. Wertheim menulis bahwa — terlepas dari Soeharto terlibat
atau tidak — setidaknya Soeharto membiarkan
peristiwa G30S terjadi. Sebab, setidaknya, dia dilapori
tapi tak lapor pada atasannya (Yani dan Nasution). Pembiaran
seperti itu disebut “conspiracy of silence”.
Dua Batalyon Kostrad G30S
G30S sebenarnya terdiri dari dua
gerakan: satu gerakan diam-diam dan tersembunyi di Halim
untuk menculik para jenderal, satu lagi gerakan terang-terangan
berupa dua batalyon AD yang menduduki Lapangan
Merdeka dan RRI (untuk menyiarkan
pengumuman radio keesokan paginya).
Sekitar seribu prajurit di dekat
Istana Merdeka ini terdiri dari Batalyon 454 dari Jateng dan Batalyon
530 dari Jatim. Kedua pasukan G30S itu dengan nyaman berada di dekat
Markas Kostrad dan Mabes AD, tanpa berusaha
menduduki atau melumpuhkannya terlebih dahulu. Tampaknya, dua batalyon G30S
itu menganggap Kostrad dan MBAD
bukan musuhnya.
Baru sekitar tahun 1988 terungkap bahwa kedua
batalyon dari Jateng dan Jatim pelaku G30S
datang ke Jakarta atas perintah Pangkostrad Soeharto.
Terungkap pula salinan perintah-perintah Kostrad yang asli, semuanya ditandatangani
oleh Soeharto tanggal 21 September 1965, dengan
alasan untuk parade Hari ABRI 5 Oktober.
Disebut pula bahwa tanggal 30 September pagi hari, Soeharto
sempat memeriksa kedua batalyon itu di tempat
mereka berkemah (sumber:
Indonesia Reports, Politics Supplement, no. 25, Agustus 1988).
Namun tak pernah terungkap, atas
perintah siapa kedua komandan batalyon itu bergerak menduduki
Lapangan Merdeka, sehari setelah dikunjungi Pangkostrad
di perkemahannya.
- Berantakan di Lapangan
Setelah bertemu Soeharto di RSPAD tanggal 30 September
menjelang tengah malam itu, Latief pergi ke Halim. Supardjo
datang bersama Syam. Supardjo memiliki
posisi yang unik. Dia adalah “orang luar” (tak ikut
perencanaan-perencanaan G30S sebelumnya) yang “ada di dalam”
(hadir dan mengamati komando G30S). Supardjo tak bawa pasukan
seperti yang dilakukan Untung, Latief dan Suyono.
Tugas Supardjo, sesuai permintaan Syam, adalah menjadi jurubicara
G30S ke Presiden setelah Dewan Jenderal itu ditangkap, untuk
diambil tindakan oleh Presiden.
Tak Ada Komandan Tunggal
Disitu ia melihat 5 pemimpin G30S, yakni
Untung, Latief dan Suyono (dari militer) serta Syam dan Pono (dari PKI).
Sebagai petinggi militer (Panglima Komando Tempur II
Kolaga), Supardjo kaget melihat persiapan di
Halim. Tidak ada garis komando. Tidak ada komandan
tunggal. Tidak jelas siapa pemimpin sesungguhnya.
Kelima orang itu (Untung, Latief, Suyono, Syam dan Pono) sibuk berdebat
sendiri, tak ada pengambil keputusan akhir.
Letkol Untung bingung, karena bantuan
tentara dari Jateng dan Jatim ternyata banyak yang mengundurkan diri. Ia sempat
bimbang untuk melanjutkan rencana. Syam
lah yang memprovokasi, “Ya Bung, kalau
mau revolusi pasti banyak yang mundur, tapi kalau sudah menang banyak yang mau
ikut”.
Kesaksian Supardjo ini sangat berbeda
dengan penggambaran dalam film propaganda
“Pemberontakan G30S”, dimana seolah-olah G30S disusun dengan sangat rapih
oleh para konspirator yang licik
dan jahat sambil tak henti mengepulkan asap
rokok di bibir yang hitam. Para
pimpinan G30S justru bersikap sebaliknya: gelagapan,
bingung dan berantakan.
Pembagian tugas regu penculik masing-masing jenderal juga sembarangan
dan terkesan amatiran. Sempat berkali-kali
ganti regu dan pimpinan. Sandi belum diputuskan, amunisi
belum datang, pasukan AU datang terlambat. Tak ada Plan
A & Plan B seperti lazimnya operasi militer.
Akhirnya pasukan penculik menuju sasaran masing-masing sekitar jam 3.30 subuh.
Hasil Penculikan
Jika melihat pembicaraan-pembicaraan sebelumnya antara
Syam dan Supardjo, tujuan awal G30S adalah menculik
para jenderal hidup-hidup untuk dibawa
ke Presiden, dimana Supardjo jadi jurubicara mereka. Namun
pelaksanaan di lapangan berantakan akibat kerja
amatiran. Akhirnya mereka kembali ke Halim dengan hasil
yang membingungkan: 3 jenderal hidup, 3
jenderal tewas, 1 perwira salah tangkap.
Ironisnya, jenderal yang lolos
justru pimpinannya, yakni Nasution. Padahal, pasukan
yang bertugas menculik Nasution jumlahnya paling banyak, sekitar 100 orang
dalam 4 truk, dibanding 19 orang untuk menculik Suprapto (sumber: Dokumen Supardjo).
Lapor ke Presiden
Paginya, setelah Supardjo pergi ke istana untuk lapor ke
Presiden, 4 perwira yang masih hidup (Parman, Suprapto, Sutoyo dan Tendean)
dibunuh di Lubang Buaya. Di persidangan Latief tahun 1978 yang menghadirkan
Syam sebagai saksi, Syam mengaku bahwa dirinyalah
yang memerintahkan penembakan para jenderal (sumber: Wertheim, Who’s Plot? New Light on
the 1965 Events, hlm 207).
Perintah Penembakan
Ada hal yang menarik dari data ini. Semua perwira G30S,
apalagi Supardjo yang ditugaskan jadi juru bicara ke Presiden, berpikir bahwa
mereka rencananya menculik para jenderal hidup-hidup.
Hanya Syam yang punya inisiatif untuk membunuh
para jenderal. Itupun dilakukannya setelah Supardjo pergi ke
istana untuk lapor ke Presiden.
Analoginya seperti kisah komplotan rampok
yang sama-sama merampok bank, namun setelah uang di tangan,
si pemimpin menelikung dan membunuh
mereka.
Pertanyaan yang menggilitik adalah: jika ketujuh
jenderal berhasil diculik hidup-hidup kesitu,
dikala Supardjo lapor ke Presiden, apakah Syam
tidak memerintahkan pula untuk membunuh para jenderal?
Sebab, setelah nantinya Supardjo melaporkan bahwa Presiden
tidak mendukung dan memerintahkannya untuk menghentikan
G30S, Syam tetap bersikeras melanjutkan
gerakan tanpa dukungan Soekarno (sumber: Dokumen Supardjo). Terbukti Syam punya
agenda sendiri, yang tidak dia sampaikan sebelumnya kepada para
perwira yang dia libatkan.
Jam Penembakan
Kembali ke 1 Oktober pagi itu. Atas perintah Syam,
sekelompok pasukan G30S menembak masing-masing perwira
berkali-kali. Untuk menyembunyikan para korban
dan menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu ke
dalam sumur, lalu menguruk sumur itu dengan bebatuan, tanah dan
dedaunan (sumber: CIA, Indonesia – 1965,
hlm 21).
Menurut CIA, dalam laporannya tentang
G30S yang telah boleh diakses publik, para jenderal itu dibunuh sekitar pukul
7.00 (sumber:
ibid.). Menurut ingatan Serma Boengkoes, pembunuhan
terjadi sekitar pukul 9.30 (sumber: Anderson, World of Sergeant-Mayor Bungkus).
Tak Ada Gerwani di TKP
Berbeda dengan versi Orde Baru — yang
dipropagandakan secara masif melalui buku-buku sejarah maupun film
sadis G30S yang wajib ditonton oleh semua
umur setiap tahun — ternyata tak ada keterlibatan
Gerwani yang dikatakan menyiksa para jenderal dengan mencungkil
mata, memotong kemaluan, sambil pesta narkoba
dan seks.
Hal ini dikuatkan dengan hasil visum 5 dokter dari TNI dan FKUI,
yang menyatakan bahwa tidak ada bekas-bekas penyiksaan di tubuh para jenderal
korban G30S
Menurut penelitian Prof. Saskia Wieringa, pakar
sosiologi dan kesetaraan gender dari University
of Amsterdam, Gerwani adalah organisasi sosial perempuan yang saat
itu berencana melakukan bakti sosial masak-memasak di
dapur umum di sekitar Lubang Buaya pada siang
hari. Kegiatan masak-memasak itu pun akhirnya tak
jadi dilakukan, karena hanya sedikit anggota yang datang.
Mereka tak ada di TKP pada tengah malam
dan subuh itu, bahkan tak tahu menahu kalau ada pembunuhan
jenderal. (sumber:
Wieringa, “Sexual Politics in Indonesia”, hlm 292).
Ketika koran-koran — yang saat itu sepenuhnya dikuasai AD
— gencar mempropagandakan fitnah
tentang Gerwani, termasuk cerita-cerita fiktif tentang 100
perempuan Gerwani menggunakan silet
untuk memotong kemaluan jenderal, Soekarno
berang dan berkata, “Apa dikira kita ini orang bodoh?? Nadanya ialah apa??
Untuk membangun kebencian!! Masuk akal?? Tidak!! Artinya, apa
masuk akal, pen*s dipotong-potong dengan 100
silet?? Apakah bangsa kita berkualitas
sedemikian rendah??” (sumber:
Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, I:89).
Pembunuhan
massal perempuan Indonesia yg dituduh PKI, tanpa pengadilan
Taktik perang urat syarat dan disinformasi
bisa saja dianggap hal yang lumrah dalam strategi militer. Namun, jika
fitnah itu berdampak jadi pembunuhan dan pemerkosaan ribuan perempuan
Indonesia yang tak tahu menahu tentang pembunuhan
jenderal, tentu tak dapat dibenarkan. Bahkan Robert
F. Kennedy, senator di negeri AS yang antikomunis,
mengutuk kekejian dan kebiadaban
di Indonesia yang membunuh ratusan ribu korban termasuk perempuan
itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (sumber: Newfield, “Robert Kennedy”, hlm 71).
“Kebenaran tentang perebutan
kekuasaan tidak boleh dibikin jelas;
pada mulanya ia terjadi tanpa
alasan, tapi kemudian menjadi masuk
akal.
Kita harus memastikan bahwa kebenaran
itu dianggap sah dan abadi;
adapun asal-muasalnya
sendiri harus disembunyikan,
jika kita tidak ingin kebenaran itu cepat
berakhir”
(Blaise Pascal, ilmuwan Prancis, 1670)
- bersambung
No comments:
Post a Comment