Judul di
atas adalah slogan yang biasanya tertera di bagian belakang truk-truk pantura, ditulis
besar-besar dengan lambaian tangan bapak tua, lalu lalang dengan slogan lainnya
seperti “dibuang sayang, dikawin perang”, atau “lali rupane, eling rasane”
serta tulisan-tulisan cerdas lainnya yang akrab ditemui sepanjang pantai utara.
Pertanyaannya, apa iya jaman itu lebih enak dibanding jaman sekarang? Ada satu
cerita menarik di bawah ini yang bisa kita ambil pelajarannya.
Dahulu
kala, di Negara Kesatuan Republik Demokratik Sontoloyo, hidup seorang pemimpin
revolusioner yang doyan nikah, dari pribumi sampai wanita jepang, semua
dikawin, tapi terlepas dari gayanya yang playboy,
bapak presiden ini punya satu sisi positif, dia sangat nasionalis, soal harga
diri bangsa, semua angkat topi sama bapak yang satu ini. Sampai pada satu hari,
di tahun 1965, muncul kudeta berdarah dengan mengkambing-hitamkan Partai
Komunis Republik Demokratik Sontoloyo, atau disingkat PKRDS, yang saat itu
punya hubungan yang cukup mesra dengan Pak Presiden. Aktor utamanya adalah
seorang jendral bernama Suhartawan yang dibantu Mama Rika yang tidak senang
karena tidak bisa mengeruk emas di tanah Papah Uya karena tidak diizinkan Pak
Presiden. Singkat kata, pada satu hari yang cerah di tahun 1965, ada tujuh
jendral yang hilang entah kemana, dan Jendral Suhartawan yang entah mendapat
ilham dari mana, langsung menyuruh aparat melakukan pencarian di sebuah area di
daerah ibukota yang bernama Lubang Komodo, dan ketemu! Prok prok prok, luar
biasa jendral ini, salut! Setelah mendapat angin segar, dia langsung menunjuk
PKRDS sebagai dalang dari terbunuhnya ketujuh jendral yang ditemukan di Lubang
Komodo. Tanpa proses persidangan, dilakukanlah proses genosida terhadap anggota
dan pendukung partai ini yang mayoritas petani dan sipil yang tidak tahu
apa-apa, dan jumlahnya disembunyikan, ada yang bilang ribuan, ratusan ribu, ada
juga yang bilang jutaan, Wallahu’alam, hanya Tuhan yang tahu.
Setelah
pembantaian mengerikan, Pak presiden kehilangan kharisma dan dukungan, dan
tanpa ba-bi-bu, kekuasaan akhirnya jatuh ke tangan Jendral Suhartawan. Banyak kebijakan
strategis yang dibuat oleh presiden baru ini, seperti undang-udang Minerba yang
menjadi jalan Mama Rika numpang gali emas di tanah Papah Uya, di mana bagi
hasilnya adalah 99% untuk PT Repot dari Mama Rika dan 1% dari pajak untuk
Negara Kesatuan Republik Demokratik Sontoloyo, sungguh sebuah bagi hasil yang
adil. Selain itu, banyak kebijakan yang tidak kalah visionernya turut
dikeluarkan, di antaranya: etnis minoritas Tionghoa dilarang menggunakan nama
Tionghoa dan dilarang menggunakan bahasa Tionghoa, padahal etnis minoritas
lainnya seperti India dan Arab bebas untuk menggunakan bahasa mereka
masing-masing. Partai PKRDS dilarang tampil, dan partai politik dibatasi hanya
tiga: partai Golongan Kaya Raya atau Gokara, Partai Demokratik Internasional
atau Partikin, dan Partai Pemuda Patriot atau Papatri. Partai Gokara yang
dihuni mayoritas, dengan mudah memenangkan setiap pemilu yang digelar sehingga
kekuasaan Presiden Suhartawan bertahan hingga lebih dari tiga dekade.
Selama memerintah,
barang-barang kebutuhan pokok terasa murah, bensin murah, biaya hidup murah,
semua serba murah karena subsidi yang diberikan pemerintah. Tapi seperti kata
pepatah, sepandai-pandainya menyimpan istri muda, akhirnya tua juga. Tuhan saja
yang maha pencipta masih menyuruh manusia untuk bekerja, Tuhan menciptakan
udara, tapi manusia harus bernafas untuk mendapatkannya, Tuhan menciptakan air,
tapi manusia perlu usaha untuk mengolahnya. Rupanya Presiden Suhartawan ingin
bertindak seperti tuhan kecil, menyediakan kebutuhan pokok lebih murah dari
harga produksinya, semua serba mudah pada awalnya, tapi subsidi yang dibiayai
dari jualan migas dan hutang akhirnya jebol. Setelah kondisi ekonomi yang makin
sulit, rakyat akhirnya sadar bahwa pemimpin mereka bukan Tuhan, kemurkaan
rakyat akhirnya tumpah dan terjadi kerusuhan berdarah di beberapa kota besar.
Mama Rika yang dulu menjadi sponsor utama Jendral Suhartawan lepas tangan dengan
kerusuhan yang terjadi, karena perusahaan Repot sudah nyaman menggali emas di
Papah Uya, begitu juga dengan PT Emont di tambang lainnya. Setelah lebih dari
tiga dekade, Presiden Suhartawan akhirnya lengser dengan sederet prestasi yang
ditinggalkan:
1.
Republik
Sontoloyo dikenal dengan ekspor PRT terbesar di Timteng, Malaysia dan Taiwan.
2.
Budaya
korup yang mengakar kuat di pemerintahan.
3.
Hutang
yang tidak akan lunas tujuh turunan.
4.
Infrastruktur
yang menyedihkan karena uang negara habis untuk subsidi selama lebih dari tiga
dekade.
5.
Tata
kota yang amburadul karena mayoritas departemen di pemerintahan diisi oleh
orang titipan, bukan orang ahlinya.
*Cerita di atas hanyalah fiktif belaka,
jika terdapat kesamaan dengan kenyataan mungkin bukan sebuah kebetulan.
Salam,